Cerita Horor Gunung Ciremai (4)


 

Saya yang belum pasti satu tahun sekali melakukan sholat, magrib itu sholat dengan khusuk. Sesudahnya saya berdoa sampai menitikkan air mata minta perlindungan Allah. Setelah berdoa, sang Bapak yang mengimami ku sholat magrib kembali kearahku.

Perlu Ketelitian Mencari Situs Togel


"Jang, kelak habis sholat Isya langsung pergi. Tidak perlu takut, bismillah saja. Doa jangan putus nya?"


Saya hanya diam serta mengangguk.


"Setan apa saja tidak dapat nyelakain kalau Ujang inget Gusti Allah. Hanya Allah sebagus-baiknya pelindung." Sambung sang Bapak lagi.


Sesudah Isya. Saya isi carrierku dengan dua botol air mineral. Ku cek lagi headlamp senter. Semua siap. Ku lihat satu kali lagi situasi Ayu. Ia sedang tertidur, serta masih ditemani sang ibu tua. Ibu itu tersenyum kepadaku seperti memberikan restu. Di luar saya telah dinanti sang Bapak. Saya mencium tangannya sekaligus juga meminta dibantu doa.


Lantas sang Bapak memberikanku satu bingkisan dari kain putih. Saya menanyakan, "apa ini pak? "

"Bingkisan ini didalamnya tanah. Kelak tanah ini kamu tebar di gubuk belakang Cenderung Amis ya. Kainnya kamu bawa serta. Kelak kalau bertemu yang kamu mencari, kain ini buat bungkusnya. "


Satu kali lagi saya mengangguk. Lantas dengan menarik nafas dalam, saya pergi. Seekor burung berkaok-kaok entahlah dimana ikuti tiap langkahku. Salah satu penerangan cuma sinar senter yang kurahkan ketanah. Saya menyengaja memusatkan pandangan ke cara kakiku.


Makin jauh kuberjalan, bayangan horror malam itu semakin jadi riil. Tetapi setiap kali bayangan itu ada selekasnya kutepis jauh walaupun percuma. Saya stop dibatas kebun. Dimukaku saat ini melintang rimba pinus. Aura mistis menyebar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, saya mengambil langkah.


Mendadak saya mencium berbau busuk yang paling pekat. Bulu kudukku langsung berdiri. Sinar senter bergoyang karena tanganku yang gemetaran hebat. Saya masih memaksakan untuk maju walaupun perlahan. Setiap saat saya ingin kembali serta lari saya tetap diingatkan figur Ayu yang sedang tertidur waktu barusan kutinggal.


Berbau busuk itu hilang, bertukar berbau melati. Sumber baunya demikian dekat, seolah-olah pas dibelakangku. Bulu di semua badanku meremang memikirkan figur apa dibelakang. Saya menanti tangan sedingin es sentuh tengkukku. Saya istighfar serta berjalan semakin cepat.


Pada kondisi semacam ini mendadak saya ingat legenda Nini Pelet yang konon berkeliaran antara beberapa pohon pinus diwilayah ini di saat malam. figur Nyai Kembang, pengantin wanita yang mati waktu tengah memiliki kandungan serta mayatnya dibangkitkan. Pemikiran mengenai Nyai Kembang dengan muka pucatnya menyeringai dibelakangku cukup membuatku langsung lari cemas.


Entahlah berapakah lama saya lari tanpa ada memedulikan jalan yang mulai naik. Bayangan Nyai Kembang yang menyeringai benar-benar menerorku. Sampai pada akhirnya saya tersuruk sebab kakiku berkaitan akar pohon membentang. Sekitarku bukan lagi rimba pinus, tetapi pohon pohon tua raksasa. Di depanku jauh keatas terlihat satu bangunan gubuk kayu.


Dari posisiku sekarang ini bayangan gelap bangunan itu yang diselimuti kabut tipis seolah memberi teguran untuk jangan mencoba berani merapat. Dengan sangsi kusenteri bangunan kosong itu. Kemungkinan ini yang disebut gubuk cenderung amis yang disebut sang Bapak.


Perlahan serta sangsi saya dekati bangunan ditengah-tengah rimba ini. Figur gelap bangunan ini saja cukup mengintimidasiku. Beberapa pohon hitam di sekelilingnya dengan ranting kurus yang dalam pikiranku seperti tangan orang mati menjuntai dari sana sini.


Saya stop sepuluh mtr. dimukanya, menyorot-nyoroti sinar senterku kesetiap sudut ruang. Lega sesudah tidak ada figur apa saja yang bersembunyi dikegelapan. Tanganku mengambil kantung celana serta ambil bingkisan putih berisi tanah. Warna putih kain itu langsung membuatku bergidik takut. Kubuka ikatannya, lantas kutuangkan tanah didalamnya ke tanganku.


Kutarik nafas langsung kuberlari kebelakang pondokan ini lantas secepat-cepatnya kusebar tanah barusan sesuai dengan keinginan sang Bapak. Saya menyengaja melakukan secara cepat, sebab takut memikirkan apakah yang ada dibelakang pondokan itu. Mendadak ada satu muka putih menyembul antara semak, matanya membelalak lebar pas dimukaku. Saya langsung jatuh duduk sekalian berteriak-teriak histeris.

Postingan populer dari blog ini

The ability to recover from setbacks

The weekend catch-up dilemma

Cryptocurrency’s third problem is its predatory culture.