Cerita Horor Gunung Ciremai (1)
Jadi gue kemaren ada ngebaca Narasi Seram Gunung Ciremai nih, yang menurut gue bagus sebab banyak pesan moralnya . Jadi ini narasi sebab ada teman di Facebook yang sharing, ada lah di teras. Sebab melihat banyak yang likes & sharing, yaudah gue ikut-ikutan baca. Ini narasi aslinya dari Edge Mountain ya, serta gue reshare tulisannya ke sini sudah izin ia .
Perlu Ketelitian Mencari Situs Togel
Kenalan sedikit, jadi Gunung Ciremai (nama aslinya 'Gunung Ceremai' ya) masuk di daerah dua kabupaten, Kabupaten Kuningan sama Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Gunung ini gunung tertinggi di Jawa Barat.
Nama gunung ini aslinya dari kata 'Cereme' (Phyllanthus acidus), tumbuhan yang ada buahnya kecil serta rasa-rasanya asem, tetapi seringkali disebutkan Ciremai dikarenakan biasa di Jawa Barat nama daerah itu depannya 'Ci', jadi banyak orang mikir namanya Ciremai walau sebenarnya Ceremai.
Yaudah begitu saja kenalan sama gunung ini, setelah itu masuk di pokok narasi horornya yang mudah-mudahan ini dapat diambil pesan moralnya khususnya yang menyukai bermain-main ke gunung. Tidak hanya di gunung saja justru, pesan kepribadian narasi ini dapat diaplikasikan dimana saja.
Tidak ada yang keliru semasa kita naik, sampai pucuk ngecamp. Permasalahan baru ada mendekati kita turun, di Pengasinan Ayu haids. Sesudah menempatkan pembalut, kita langsung turun. Pamit sesaat dengan pendaki Wonosobo yang tempo hari pernah bercakap dipucuk. Mereka merekomendasikan ngecamp tadi malam lagi sebab telah mulai sore. Tetapi sebab esok kita berdua kerja, ngecamp tadi malam lagi jelas tidak kemungkinan.
Masuk rimba lagi. Ayu jalan lebih dulu, saya dibelakangnya agar dapat memantau. Kita berjalan perlahan. Jalan Linggarjati cukup bahaya untuk dibawa lari. Sebentar-sebentar Ayu meminta istirahat. Kemungkinan impak haids. Keanehan mulai berasa saat kita melalui pos Sanggabuana, kita tidak berjumpa satu pendaki juga yang naik. Walau sebenarnya ramainya pendaki berikut yang membuat saya berani turun walaupun kesorean.
Jam 5 sore kita sampai di pos Batu lingga. Sedikit ada tanah lega buat kita istirahat. Di sini kita masak mie serta nyeduh kopi.
"Bagaimana di, sudah sore sekali. Ngecamp lagi apa bagaimana?" Kata Ayu. Wajahnya cape serta cemas.
"Lanjut saja Yu, sekaligus cape." Kataku.
Sesudah di rumah baru saya tahu, kekeliruan fatal dibikin di sini serta di Sanggabuana. Ayu narasi, waktu di Sanggabuana, ia sebel sekali harus bentar-bentar stop sebab kasih jalan pendaki yang ingin naik. Ia sempat ngomel, "Seandainya tidak ada yang naik lagi, enak nih turun, tidak keganggu"
Entahlah bertepatan atau mungkin tidak, memang benar kami tidak sempat lagi berpapasan dengan pendaki lain.
Kekeliruan ke-2, serta yang sangat fatal. Di Batu lingga Ayu buang sisa pembalut nya ke kerimbunan semak. Dari mulai sini sampai bawah ialah terror.
Beres-beres perlengkapan. Packing lagi. Kita langsung jalan. Hari telah gelap sebab mendekati magrib. Ayu dimuka, saya dibelakang. Bulu kuduk mulai berdiri. Rasa-rasanya antara semak, dibalik pohon, disetiap lokasi yang gelap ada yang memantau. Kepalaku mulai ngilu. Berdasar pengalamanku, kepala yang ngilu umumnya ada kegiatan mistis.
Di tikungan rimba, saya terkejut lihat Ayu stop serta tubuhnya menghadapku. Suaranya gemetaran, ia katakan, "Di, lu jalan lebih dulu ya. Gw pegangan keril lu ya". Saya mengangguk. Jadi saat ini saya jalan lebih dulu, sesaat Ayu pegangan carrierku dibelakang. Jalanan telah gelap keseluruhan. Penerangan hanya dari sinar headlamp.
Dari pojok mata saya lihat ada bayangan hitam yang berdiri di pohon, tetapi waktu saya melihat tidak ada siapa saja. Lantas ada suara bisik-bisik yang pasti sekali, yang semula kupikir pendaki yang naik, kenyataannya jalan dimuka hanya kosong serta gelap tidak ada siapa saja. Di sini saya berdoa dalam hati minta perlindungan.
Mendadak Ayu menangis, ia jatuh terduduk, kepalanya diselinapkan di lututnya. Dalam sesenggukannya ia berkali-kali menyebutkan pocong... Pocong.. Pocong. Dengar itu bulu kudukku berdiri keseluruhan. Kulihat semua arah dengan cemas. Figur itu tidak ada. Saya merayu Ayu untuk berjalan lagi, sekalian memperingatkan untuk berdoa.
Pada akhirnya Ayu ingin berjalan lagi sesudah matanya kututup dengan buff. Dengan langkah ini, Ayu tidak histeris, tetapi jalan kami jadi mengagumkan lamban. Selama jalan saya terus lihat kelebatan-kelebatan hitam. Terkadang semak-semak yang bergoyang sendiri. Beberapa suara dengan bahasa sunda yang saya tidak tahu berarti terdengar entahlah ditelinga entahlah suara pendaki yang terikut angin.
Tubuhku gemetaran saat ada satu bayangan diujung jalan, ia jongkok di bawah pohon. Kesempatan ini bayangan itu tidak hilang. Saya istighfar makin kuat, Ayu menggenggam tanganku dengan erat. Makin merapat, kami akan sangat terpaksa melaluinya sebab figur itu pas di tepi jalan. Nyaliku habis. Saya diam di tempat. Gemetaran serta keringetan.
Kesempatan ini Ayu telah merengkuhku. Ia walaupun tidak lihat apa-apa pasti berasa ada yang ganjil. Lama saya berdiri mengharap figur itu hilang, hingga kami dapat melalui. Tetapi ia masih dari sana. Mendadak punggungku ada yang menepuk. Seorang pendaki yang sedang turun. Alhamdulillah kami selamat, saya lega.
Ia mengangkat tangan ajakku jalan. Saya langsung bergerak. Figur itu telah hilang. Saya ikuti pendaki ini sampai mendadak ia hilang dikegelapan. Satu suara perlahan terdengar, "Jalan lurus saja bang, jangan lihat kekiri".